Apa yang salah dengan pendidikan anak usia dini di
Indonesia? Saat ini sudah ada begitu banyak lembaga-lembaga pendidikan
anak usia dini yang berdiri di Indonesia, khususnya di kota-kota besar.
Mulai dari yang bersertifikasi internasional, berlatar agama, hingga
lainnya. Begitu banyaknya penawaran dan embel-embel tersebut, tak heran
orangtua kebingungan harus memilih yang mana yang tepat untuk anak.
Selama 7 tahun meriset dan mencari tahu mengenai
proses pendidikan anak usia dini di Indonesia, Byrnes menemukan beberapa
hal yang mengganjal. "Pertama, pendidikan anak usia dini tidak memiliki
kurikulum yang universal," ungkap Byrnes yang merupakan kepala sekolah
Royal Tots Academy, Kuningan, Jakarta. Tidak adanya standar universal
membuat begitu banyak sekolah untuk anak usia dini yang bermunculan.
"Belum ada yang membuat batasan, di usia anak sekian, ia harus sudah
bisa melakukan apa saja. Jadi, beda sekolah, beda standar. Padahal tak
sedikit yang menggunakan embel-embel 'internasional'. Embel-embel
tersebut ternyata tidak menjadi jaminan kualitasnya," papar Byrnes yang
diberi gelar sebagai Australia's & International Teacher of the
Year.
"Namun, pada umumnya, kita semua tahu bahwa
pendidikan anak usia dini itu penting, karena di usia inilah anak
membentuk pendidikan yang paling bagus. Di usia inilah anak-anak harus
membentuk kesiapan dirinya menghadapi masa sekolah dan masa depan.
Investasi terbaik yang bisa Anda berikan untuk anak-anak adalah
persiapan pendidikan mereka di usia dini," terang Byrnes yang berasal
dari Australia ini.
Lebih lanjut, Byrnes mengungkapkan salah satu hal yang membuatnya kecewa adalah sering terjadi power struggle
(tarik-ulur kekuatan) antara anak dengan gurunya. Ini bisa menjadi
indikasi bahwa kurikulum atau cara guru mengajar membuat anak tidak
merasa kerasan. Seharusnya sumber daya pengajar memiliki pengetahuan
bagaimana cara menghadapi anak-anak, karena setiap anak berbeda.
Menurut Byrnes, beberapa lembaga pendidikan usia dini
yang ia datangi di Indonesia tidak konsisten. Bahkan, beberapa sekolah
anak usia dini yang ia temui memperbolehkan pengasuhnya ikut ke dalam
kelas. "Buat saya, pengasuh mengambil alih otoritas orangtua. Saya tidak
menyarankan pengasuh ke dalam ruang kelas. Ada alasannya. Anak-anak
harus belajar mandiri. Saya pernah melihat dalam kelas ada seorang anak
yang selalu dipangku pengasuhnya. Begitu guru mengajaknya belajar, ia
malah memeluk pengasuh dan menolak diajak guru. Artinya, mereka tidak
berani melakukan sesuatu. Anak-anak usia dini seharusnya pengambil
risiko," terang Byrnes.
Byrnes mengungkap kembali bahwa saat ini pendidikan
anak usia dini di Indonesia belum merata, bahkan sertifikasinya pun
tidak menjadi jaminan. "Jika Anda mau pendidikan yang terbaik untuk
anak-anak, maka pencarian sekolah pendidikan anak usia dini menjadi
pekerjaan rumah terpenting para orangtua. Cari dengan hati-hati, jangan
tergesa-gesa," sarannya.
Perlu diketahui lagi, ungkap Byrnes, pendidikan anak
usia dini di Indonesia tidak sama, karena tidak disubsidi pemerintah
seperti kebanyakan negara lain. "Karena itu, lihatlah uang sekolah untuk
anak di usia dini sebagai investasi. Ketahuilah bahwa proses pendidikan
anak tidak dimulai dari sekolah dasar, tetapi dari 18 bulan," ungkap
Byrnes.
Yang jadi masalah di lembaga pendidikan anak usia
dini di Indonesia, tegas Byrnes, adalah kurangnya pelatihan guru-guru
agar terus menjadi lebih baik, tak adanya kerjasama antara sekolah
dengan orangtua, dan kurang kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan
anak usia dini lainnya.
sumber:http://www.paud.kemdiknas.go.id
Posting Komentar Blogger Facebook