Anak cerdas tentu dambaan setiap orang, sebab kecerdasan merupakan
modal tak ternilai bagi si anak untuk mengarungi kehidupan di
hadapannya. Beruntung kecerdasan yang baik ternyata bukan harga mati,
melainkan dapat diupayakan.
Dr. Bernard Devlin dari Fakultas Kedokteran Universitas Pittsburg,
AS, memperkirakan faktor genetik cuma memiliki peranan sebesar 48%
dalam membentuk IQ anak. Sisanya adalah faktor lingkungan, termasuk
ketika si anak masih dalam kandungan.
Untuk menjelaskan peran genetika dalam pembentukan IQ anak, seorang
pakar lain di bidang genetika dan psikologi dari Universitas Minnesota,
juga di AS, bernama Matt McGue, mencontohkan, pada keluarga kerajaan
yang memiliki gen elit, keturunannya belum tentu akan memiliki gen
elit. ”Keluarga bangsawan yang memiliki IQ tinggi umumnya hanya sampai
generasi kedua atau ketiga. Generasi berikutnya belum diketahui secara
pasti, karena mungkin saja hilang, meski dapat muncul kembali pada
generasi kedelapan atau berikutnya”, ungkap McGue. ”Orang tua yang
memiliki IQ tinggi pun bukan jaminan dapat menghasilkan anak ber-IQ
tinggi pula.” Ini menunjukkan genetika bukan satu-satunya faktor
penentu tingkat kecerdasan anak.
Faktor lingkungan, dalam banyak hal, justru memberi andil besar
dalam kecerdasan seorang anak. Yang dimaksud tak lain adalah upaya
memberi ”iklim” tumbuh kembang sebaik mungkin sejak si anak masih dalam
kandungan agar kecerdasannya dapat berkembang optimal. Dengan gizi dan
perawatan yang baik misalnya, si Polan bisa cerdas. Atau dengan
menjaga kesehatan secara baik dan menghindari racun tubuh selagi ibunya
mengandung dia, si Putri dapat memiliki intelegensia baik. Begitu pula
dengan memberikan kondisi psikologis yang mendukung, angka IQ si Tole
lebih tinggi dari teman sebayanya. Gizi, perawatan, dan lingkungan
psikologis itulah faktor lingkungan penentu kecerdasan anak.
Kisah Helen dan Gladys, sepasang bayi kembar, bisa menjadi salah
satu buktinya. Pada usia 18 bulan mereka dirawat secara terpisah. Helen
hidup dan dibesarkan dalam satu keluarga bahagia dengan lingkungan
yang hidup dan dinamis. Sedangkan Gladys dibesarkan di daerah gersang
dalam lingkungan ”miskin” rangsangan intelektual. Ternyata saat
dilakukan pengukuran, Helen memiliki angka IQ 116 dan berhasil meraih
gelar sarjana dalam bidang Bahasa Inggris. Sebaliknya Gladys terpaksa
putus sekolah lantaran sakit-sakitan dan IQ-nya 7 angka di bawah
saudara kembarnya.
Gizi dan Perilaku Ibu
Dr. Devlin menemukan bukti bahwa keadaan dalam kandungan juga sangat
berpengaruh pada pembentukan kecerdasan. ”Ada otak substansial yang
tumbuh dalam kandungan”, jelasnya. ”IQ sangat tergantung pada bobot
lahir bayi. Anak kembar, rata-rata memiliki IQ 4 - 7 angka di bawah
anak lahir tunggal karena umumnya bayi kembar memiliki bobot badan
lebih kecil”, tambahnya.
Lebih dari 20 tahun terakhir berbagai penelitian juga mengungkapkan
korelasi positif antara gizi, terutama pada masa pertumbuhan pesat,
dengan perkembangan fungsi otak. Ini berlaku sejak anak masih berbentuk
janin dalam rahim ibu. Pada janin terjadi pertumbuhan otak secara
proliferatif (jumlah sel bertambah), artinya terjadi pembelahan sel yang
sangat pesat. Kalau pada masa itu asupan gizi pada ibunya kurang,
asupan gizi pada janin juga kurang. Akibatnya jumlah sel otak menurun,
terutama cerebrum dan cerebellum, diikuti dengan penurunan jumlah
protein, glikosida, lipid, dan enzim. Fungsi neurotransmiternya pun
menjadi tidak normal.
Dengan bertambahnya usia janin atau bayi, bertambah pula bobot otak.
Ukuran lingkar kepala juga bertambah. Karena itu, untuk mengetahui
perkembangan otak janin dan bayi berusia kurang dari setahun dapat
dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan mengukur lingkar kepala
janin.
Begitu lahir pun, faktor gizi masih tetap berpengaruh terhadap otak
bayi. Jika kekurangan gizi terjadi sebelum usia 8 bulan, tidak cuma
jumlah sel yang berkurang, ukuran sel juga mengecil. Saat itu
sebenarnya terjadi pertumbuhan hipertropik, yakni pertambahan besar
ukuran sel. Penelitian menunjukkan, bayi yang menderita kekurangan
kalori protein (KKP) berat memiliki bobot otak 15 - 20% lebih ringan
dibandingkan dengan bayi normal. Defisitnya bahkan bisa mencapai 40%
bila KKP berlangsung sejak berwujud janin. Karena itu, anak-anak
penderita KKP umumnya memiliki nilai IQ rendah. Kemampuan abstraktif,
verbal, dan mengingat mereka lebih rendah daripada anak yang
mendapatkan gizi baik.
Asupan zat besi (Fe) juga diduga erat kaitannya dengan kemampuan
intelektual. Untuk membuktikannya, Politt melakukan penelitian terhadap
46 anak berusia 3 - 5 tahun. Hasilnya menunjukkan, anak dengan
defisiensi zat besi ternyata memiliki kemampuan mengingat dan
memusatkan perhatian lebih rendah. Penelitian Sulzer dkk. juga
menunjukkan anak menderita anemia (kurang darah akibat defisiensi zat
besi) mempunyai nilai lebih rendah dalam uji IQ dan kemampuan belajar.
Maka atas dasar hasil penelitian tadi, kita bisa mengatur makanan
anak sejak janin. Ketika anak masih dalam kandungan, si ibu mesti makan
untuk kebutuhan berdua dengan gizi yang baik. Perilakunya juga mesti
dijaga agar tidak memberi pengaruh buruk terhadap janin. Pasalnya,
perilaku ”buruk”ibu hamil, merokok misalnya, ternyata juga menjadikan
IQ anak rendah.
Penelitian David L. Olds et. al. (1994) dari Departement of
Pediatrics, University of Colorado di Denver, AS, menunjukkan bayi-bayi
yang lahir dari ibu perokok memiliki faktor potensial ber-IQ rendah,
seperti bobot lahir rendah, lingkar kepala lebih kecil, lahir prematur,
dan perawatan saat di ICU lebih lama dibandingkan dengan bayi dari ibu
tidak merokok selama hamil. Anak dari ibu perokok selama hamil pada
usia 12 - 24 bulan memiliki nilai IQ 2,59 angka lebih rendah, pada 36 -
48 bulan memiliki nilai IQ 4,35 angka lebih rendah ketimbang IQ anak
dari ibu tidak merokok saat hamil.
Menurut David, asap rokok diduga akan mengurangi pasokan oksigen
yang sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan sistem syaraf janin.
Nikotin rokok akan membuat saluran utero-plasental menyempit.
Akibatnya, sel-sel otak bayi akan menderita hypoxia atau kekurangan
oksigen. Asap rokok juga akan memicu terjadinya proses carboxy
hemoglobin, yaitu sel-sel darah yang semestinya mengikat oksigen malah
mengikat CO dari asap rokok. Selain itu, asap rokok juga mengandung
sekitar 2.000 - 4.000 senyawa kimia beracun yang secara langsung
mengganggu dan merusak berbagai proses tumbuh kembang sel-sel dan sistem
syaraf.
Merokok selama hamil juga berpengaruh pada kekurangan zat gizi yang
diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel otak. Misalnya, kebutuhan
zat besi akan meningkat karena harus memenuhi keperluan pembentukan
sel-sel darah yang banyak mengalami kerusakan. Hal ini akan mengurangi
kemampuan dan persediaan zat gizi lainnya, seperti vit. B-12 dan C,
asam folat, seng (Zn), dan asam amino. Zat-zat gizi tsb. dilaporkan
sangat diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel-sel otak janin. Jika
terjadi kekurangan zat-zat gizi esensial, proses tumbuh kembang otak
tidak optimal, sehingga nilai IQ pun menjadi lebih rendah.
Setelah lahir, asupan gizi bagi bayi juga harus dijaga tetap baik.
Idealnya, anak mendapatkan ASI secara eksklusif sampai usia 4 - 6
bulan. Jenis makanan, selain ASI, untuk bayi dan anak balita sebaiknya
dibuat dari bahan makanan pokok (nasi, roti, kentang, dll.), lauk pauk,
bebuahan, air minum, dan susu sebagai sumber protein dan energi.
Jangan lupa, bahan makanan harus diolah sesuai tahap perkembangan dari
lumat, lembek, selanjutnya padat. Secara keseluruhan asupan makanan
sehari harus mengandung 10 - 15% kalori dari protein, 20 - 35 % dari
lemak, dan 40 - 60% dari karbohidrat.
Menu seimbang diberikan sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Sejak
awal balita, jika memungkinkan, anak diberi susu sebanyak 500 ml.
Namun, jika ASI cukup, susu pengganti tidak perlu diberikan hingga usia
dua tahun.
Perhatian juga mesti diberikan terhadap jadwal pemberian makanan.
Makan besar tiga kali (sarapan, makan siang, dan malam), makan selingan
(makan kecil) dua kali yang diberikan di antara dua waktu makan besar,
air minum diberikan setelah makan dan ketika anak merasa haus, serta
susu diberikan dua kali, yakni pagi dan menjelang tidur malam.
Untuk mengetahui kecukupan gizi pada anak ada dua cara yang bisa
digunakan. Pertama cara subjektif, yakni mengamati respon anak terhadap
pemberian makanan. Makanan dinilai cukup jika anak tampak puas, tidur
nyenyak, aktifitas baik, lincah, dan gembira. Anak cukup gizi biasanya
tidak pucat, tidak lembek, dan tidak ada tanda-tanda gangguan
kesehatan.
Cara kedua adalah dengan pemantauan pertumbuhan secara berkala. Cara
ini dilakukan dengan mengukur bobot dan tinggi anak, dilengkapi dengan
mengukur lingkar kepala pada anak sampai usia 3 tahun. Hasil
pengukuran dibandingkan dengan data baku untuk anak sebaya. Jika
ditemukan tanda-tanda kurang sehat, seperti pucat atau rambut tipis dan
kemerahan, anak perlu diperiksa secara medis. Ada baiknya juga
dilakukan pemeriksaan psikologis, terutama bila ada kemunduran prestasi
belajar.
Tempat Tinggal dan Cerita
Selain faktor gizi dan perawatan, apa yang dilihat, didengar, dan
dipelajari anak, sejak dalam kandungan sampai usia lima tahun, sangat
menentukan intelegensia dasar untuk masa dewasanya kelak. Setelah
usianya melewati lima tahun, secara potensial IQ-nya telah tetap.
Dengan begitu, masa itulah merupakan kesempatan emas bagi kita untuk
memacu tingkat kecerdasan anak.
Menurut Jean Piaget, psikolog dari Swis, semakin banyak hal baru
yang dilihat dan didengar, si anak akan semakin ingin melihat dan
mendengar segala sesuatu yang ada dan terjadi di lingkungannya.
Karenanya disarankan agar orang tua memperkaya lingkungan tempat
tinggal (kamar tidur atau kamar bermain) bayi dengan warna dan
bunyi-bunyian yang merangsang. Umpamanya, gambar-gambar binatang atau
bunga, musik, kicauan burung, dsb. Semuanya mesti tidak menimbulkan
ketakutan dan kegaduhan pada anak.
Para pakar juga yakin lingkungan verbal bagi anak juga tak kalah
pentingnya. Bahasa yang didengarkan anak bisa meningkatkan atau
menghambat kemampuan dasar berpikirnya. Penelitian hal ini dilakukan
psikolog Rusia. Ia membayar para ibu keluarga miskin untuk membacakan
cerita dengan suara keras untuk bayi mereka masing-masing selama 15 -
20 menit setiap hari. Menjelang berusia 1,5 tahun, bayi menjalani
pengukuran. Hasilnya, bayi-bayi itu memiliki kemampuan berbahasa yang
lebih baik ketimbang bayi-bayi seusianya di daerah yang sama.
Penelitian lain dilakukan di sebuah sekolah perawat di New York, AS,
terhadap dua kelompok anak usia tiga tahun. Masing-masing anak
diperlakukan secara berbeda. Kelompok pertama diberi pelajaran
berbahasa selama 15 menit setiap hari. Kelompok kedua diberi perhatian
khusus juga selama 15 menit tanpa pelajaran bahasa. Setelah 4 bulan
ternyata kelompok pertama mendapatkan kenaikan intelegensia rata-rata
sebesar 14 angka. Sedangkan kelompok kedua kenaikan rata-ratanya cuma 2
angka.
Nah, untuk mendapatkan anak cerdas ternyata gampang. Cuma dengan
memberi makanan sehat, perawatan baik, dan lingkungan psikologis yang
mendukung sejak dalam kandung hingga usia lima tahun, besar kemungkinan
harapan kita akan tercapai.(sumber:http://www.paud.kemdiknas.go.id)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar Blogger Facebook