Menu
 

, JAKARTA— Ratusan pelajar dan mahasiswa mengikuti lomba membuat komik yang diselenggarakan Faber-Castell di IONS International Education Jalan Simanjuntak, Yogyakarta, Minggu (12/10/2014).
Selama tiga jam, peserta berkompetisi menuangkan ide cerita dalam sebuah gambar dan dialog bertema Cuma di Indonesia
. Para peserta  banyak menggambar soal kendaraan, politik, bahkan kuntilanak.
Pembuat komik tentang kuntilanak adalah Labib Ahmadin Na’il. Karyanya akhirnya juara. Mahasiswa semester tiga jurusan Desain Komunikasi Visual Institut Seni Yogyakarta ini tak menyangka karya komiknya bisa terpilih menjadi juara dua dalam perlombaan tersebut.
“Saya baru sekali ini ikut lomba,” ucap dia.
Labib memang hobi membuat komik, namun komik-komik yang dia buat biasanya dengan tema-tema film dari barat. Dalam lomba kali ini, dia berpikir untuk menemukan sesuatu yang menjadi ciri khas Indonesia.
“Akhirnya kepikiran bikin gambar setan, genderuwo dan kuntilanak,” papar Labib.
Selain Labib pemenang lainnya adalah Oase Komara dari SMUN 3 Salatiga (juara 1), Anggi Dwi Prasetyo dari ISI Yogyakarta (Juara III), Ilalang Sthisani (harapan I), Reinaldy Agung Krishna (harapan II), dan Prasetyo Seni (harapan III).
Sudiyani, selaku Promotion Koordinator Faber-Castell Area DIY-Jateng mengatakan, kriteria pemenang adalah ide cerita menarik, teknik menggambar, alur cerita berkesinambungan dengan tema.

Komik di Jakarta

Karya para pemenang lomba komik nanti akan dibukukan kemudian dipamerkan dalam pameran komik di Jakarta nanti. Lomba komik strip bercerita Indonesia dilaksanakan serempak di 11 kota di Indonesia, sehingga total ada 66 pemenang.
“Selain dibukukan, 66 karya pemenang ini akan dipajang di media sosial milik Faber-Castell dan yang mendapatkan like
terbanyak dipilih jadi juara nasional,” papar Sudiyani.
Lomba komik kali ini merupakan keempat kalinya digelar di Indonesia sejak 2011 lalu. Hal itu merupakan salah satu bentuk kepedulian Fiber Castell agar para seniman komik Indonesia terus berkembang di tengah maraknya karya-karya komik dari Jepang dan Amerika yang masih mendominasi di Indonesia.
‘Cuma di Indonesia’ diakui Sudiyani merupakan ide agar komikus menampilkan dan menangkap keragaman yang ada di Indonesia melalui sebuah karya komik sehingga ide-ide asli tergali.
“Harapannya karya komik tidak selalu condong mengikuti gaya komik dari luar negeri,” kata dia.
Sudiyani menambahkan  para peserta lomba tidak dibatasi kelas melainkan bebas. Yang jelas kriteria umur antara 12-22 tahun. Dalam lomba komik ini, kata dia, sebagian besar peserta justru dari siswa SMP dan SMA dibanding mahasiswa. (JIBI)


sumber

Posting Komentar Blogger

 
Top